Komodifikasi Kesadaran: Marketing sebagai Mekanisme Eksploitasi dalam Kapitalisme Lanjut - Ardi Holmes
TjMRlr4CceqlrtkB0Ce0BnkM2b5IZCPJzobEJ1si
Bookmark

Komodifikasi Kesadaran: Marketing sebagai Mekanisme Eksploitasi dalam Kapitalisme Lanjut

Marketing bukan aktivitas netral, tapi mekanisme hegemoni kapitalis yang mengkomodifikasi kesadaran, menciptakan kebutuhan semu, dan menyembunyikan eksploitasi struktural. Melalui fetisisme komoditas dan alienasi, marketing melanggengkan relasi produksi tak setara dan meredam antagonisme kelas dengan ilusi mobilitas sosial. Di era digital, eksploitasi ini semakin intensif melalui komodifikasi data dan pengawasan perilaku konsumen.

Fetisisme komoditas terlukis sebagai simbol status dan mengaburkan nilai sejati, mencerminkan ironi dan kritik sistem kapitalisme

Marketing sebagai Alat Kontrol Kapitalisme

Dalam lanskap ekonomi global yang didominasi oleh kapitalisme lanjut, marketing telah menjadi instrumen yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan sistem. Praktik marketing tidak lagi sekadar aktivitas persuasi untuk menjual produk, tetapi telah bertransformasi menjadi mekanisme sistemik yang memperlancar proses akumulasi modal dengan memanipulasi kesadaran kolektif masyarakat. Perspektif Marxisme menyediakan kerangka teoretis yang kritis untuk membongkar fenomena ini. Marketing, dalam kacamata Marxisme, bukan hanya praktik bisnis yang netral, melainkan manifestasi dari kontradiksi fundamental dalam relasi produksi kapitalisme dan perpanjangan tangan dari aparatus ideologis yang melestarikan hegemoni kelas dominan.

Marxisme memahami marketing sebagai dimensi dari suprastruktur yang secara dialektis terhubung dengan basis ekonomi. Melalui aparatus marketing, kelas kapitalis menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu dan mengkomodifikasi hasrat manusia demi mempertahankan siklus produksi-konsumsi yang esensial bagi akumulasi kapital. Praktik ini tidak hanya mereduksi manusia menjadi objek eksploitasi ekonomi, tetapi juga menyingkirkan potensi kesadaran kritis masyarakat terhadap kondisi alienasi dan ketimpangan struktural yang dihasilkan oleh kapitalisme.

Alienasi dan Fetisisme Komoditas dalam Praktik Marketing Kontemporer

Marx mengidentifikasi bahwa kapitalisme menciptakan kondisi alienasi bagi manusia, baik sebagai produsen maupun konsumen. Dalam konteks marketing, alienasi ini dimanifestasikan melalui proses yang kompleks. Sebagai produsen, pekerja di industri marketing teralienasi dari produk kreatif mereka yang dikooptasi untuk kepentingan akumulasi modal. Sementara sebagai konsumen, masyarakat teralienasi dari kebutuhan autentik mereka dan dimanipulasi untuk menginternalisasi kebutuhan-kebutuhan yang dikonstruksi oleh sistem.

Jhally (2006) dalam karyanya "The Spectacle of Accumulation" menganalisis bagaimana marketing modern mengambil fungsi sebagai mediator antara produsen dan konsumen dalam cara yang memperdalam alienasi. Marketing menciptakan narasi-narasi yang menghubungkan produk dengan nilai-nilai sosial tertentu, seperti status, kebahagiaan, atau pengakuan, yang sesungguhnya tidak melekat secara intrinsik pada produk tersebut. Proses ini mencerminkan apa yang Marx sebut sebagai "fetisisme komoditas" – di mana relasi sosial antar manusia ditampilkan sebagai relasi antar objek.

Contoh paling nyata dari fetisisme komoditas dalam marketing kontemporer dapat dilihat dalam industri fesyen dan elektronik. Sebuah smartphone atau pakaian bermerek tidak hanya dijual berdasarkan nilai gunanya, tetapi lebih pada nilai simbolik yang dikonstruksi secara sosial. Iklan tidak lagi menjual produk, melainkan gaya hidup, identitas, dan pengakuan sosial. Seperti yang diargumentasikan oleh Debord (1967) dalam "Society of the Spectacle," realitas sosial telah berubah menjadi akumulasi spektakel di mana autentisitas pengalaman manusia digantikan oleh representasi yang dimediasi oleh komoditas.

Marketing, dengan demikian, berperan sebagai instrumen yang memproduksi dan mereproduksi fetisisme komoditas dalam skala masif. Melalui teknik-teknik canggih seperti segmentasi pasar, penargetan psikografis, dan positioning emosional, marketing menciptakan ilusi bahwa konsumsi komoditas tertentu akan memberikan jalan menuju pemenuhan diri dan kebahagiaan. Namun, seperti yang disampaikan oleh Baudrillard (1998) dalam "The Consumer Society," konsumsi dalam kapitalisme lanjut tidak pernah benar-benar memuaskan karena sistem ekonomi bergantung pada penciptaan ketidakpuasan yang konstan.

Marketing sebagai Aparat Ideologis Negara

Dalam kerangka pemikiran neo-Marxis, terutama melalui karya Louis Althusser, marketing dapat dipahami sebagai salah satu bentuk dari Ideological State Apparatus (ISA) – aparatus ideologis negara yang berfungsi untuk mereproduksi kondisi-kondisi produksi kapitalisme. Marketing, bersama dengan pendidikan, media, agama, dan keluarga, menanamkan ideologi dominan ke dalam kesadaran subjek sosial. Proses ini tidak selalu terjadi melalui koersi langsung, melainkan melalui persetujuan (consent) yang dibangun secara hegemonik, seperti yang dijelaskan oleh Antonio Gramsci.

Eagleton (2007) dalam "Ideology: An Introduction" menjelaskan bagaimana ideologi bekerja tidak hanya pada level kognitif, tetapi juga pada level afektif dan tidak sadar. Marketing, dengan kemampuannya untuk memanipulasi emosi dan hasrat, menjadi medium yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai kapitalistik seperti individualisme, konsumerisme, dan kompetisi. Bahkan kritik terhadap kapitalisme seringkali dikooptasi dan dikomodifikasi oleh marketing itu sendiri, seperti yang kita lihat dalam fenomena "kapitalisme hijau" atau "ethical consumption."

Dalam karyanya "Mythologies," Roland Barthes (1993) mengidentifikasi bagaimana iklan dan marketing menciptakan mitos-mitos kontemporer yang menaturalisasi relasi sosial kapitalisme. Melalui penggunaan semiotika dan analisis kultural, Barthes menunjukkan bagaimana marketing memanipulasi tanda-tanda dan simbol-simbol untuk membuat konstruksi ideologis tampak sebagai sesuatu yang alamiah dan tidak terhindarkan. Misalnya, iklan mobil mewah tidak hanya menjual kendaraan, tetapi juga mitos tentang kesuksesan individual dan kebebasan dalam kapitalisme.

Marketing digital era kontemporer telah membawa dimensi baru pada fungsi ideologis marketing. Algoritma media sosial dan teknologi big data memungkinkan personalisasi pesan marketing hingga ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Zuboff (2019) dalam bukunya "The Age of Surveillance Capitalism" menganalisis bagaimana ekonomi digital mentransformasi pengalaman manusia menjadi data yang dapat diperjualbelikan, menciptakan apa yang ia sebut sebagai "surplus perilaku" (behavioral surplus). Proses ini tidak hanya memperdalam komodifikasi kehidupan sosial, tetapi juga memungkinkan manipulasi perilaku yang lebih efektif melalui apa yang Marx mungkin akan sebut sebagai "means of mental production."

Bayangan kelam marketing memanipulasi konsumen, mengubah kebutuhan jadi keinginan dalam arena kapitalisme eksploitatif

Marketing dan Kontradiksi Kapitalisme: Respons terhadap Krisis Produksi Berlebih

Perspektif Marxisme klasik mengidentifikasi beberapa kontradiksi fundamental dalam kapitalisme, dan marketing modern dapat dilihat sebagai respons terhadap kontradiksi-kontradiksi tersebut. Kontradiksi utama yang diidentifikasi Marx adalah antara kekuatan produktif (productive forces) dan relasi produksi (relations of production). Kapitalisme memiliki kapasitas untuk memproduksi barang dalam jumlah masif, namun sistem distribusi berbasis pasar dan relasi kepemilikan yang timpang menciptakan krisis kelebihan produksi (overproduction).

Harvey (2014) dalam "Seventeen Contradictions and the End of Capitalism" menyoroti bagaimana marketing menjadi mekanisme untuk mengatasi krisis realisasi nilai (crisis of realization of value). Untuk mempertahankan akumulasi kapital, sistem kapitalis harus terus-menerus menciptakan pasar baru dan mempercepat siklus konsumsi. Marketing, dengan demikian, menjadi alat untuk mengatasi kontradiksi ini dengan memanipulasi kesadaran konsumen untuk mempercepat obsolensi (baik yang terencana maupun yang dipersepsikan) dan menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru.

Namun, pendekatan ini hanya menunda, bukan menyelesaikan, kontradiksi fundamental kapitalisme. Penciptaan kebutuhan artifisial dan percepatan siklus konsumsi pada akhirnya bertabrakan dengan keterbatasan ekologis planet kita dan kapasitas finansial konsumen. Bahkan dengan inovasi terbaru dalam kredit konsumen dan finansialisasi ekonomi, sistem ini tetap menghadapi batasan materialnya, seperti yang ditunjukkan oleh krisis finansial 2008 dan perubahan iklim yang semakin mengancam.

Klein (2000) dalam "No Logo" mengidentifikasi bagaimana marketing merespons kontradiksi lain dalam kapitalisme global: kontradiksi antara homogenisasi produksi global dengan kebutuhan untuk diferensiasi pasar. Ketika produksi semakin terstandarisasi dan dipindahkan ke negara-negara dengan upah rendah, diferensiasi produk semakin bergantung pada konstruksi citra dan identitas merek. Marketing, dalam konteks ini, berfungsi untuk menciptakan ilusi keberagaman dan pilihan dalam sistem yang secara fundamental mengarah pada konsentrasi kapital dan homogenisasi produksi.

Marketing dan Perjuangan Kelas: Meredam Antagonisme Sosial

Analisis Marxis tentang marketing tidak akan lengkap tanpa mempertimbangkan dimensi perjuangan kelas. Marketing tidak hanya mereproduksi relasi produksi kapitalis, tetapi juga berperan dalam mengatur dan meredam antagonisme kelas. Melalui segmentasi pasar dan diferensiasi produk, marketing menciptakan ilusi mobilitas sosial dan memberikan "kompensasi simbolik" bagi kelas-kelas yang tereksploitasi, mengalihkan perhatian dari kondisi material yang tidak adil.

Bourdieu (1984) dalam "Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste" menganalisis bagaimana konsumsi komoditas menjadi arena pertarungan untuk modal simbolik dan kultural. Preferensi konsumsi tidak hanya mencerminkan pilihan individual, tetapi juga posisi kelas dan disposisi yang diinternalisasi (habitus). Marketing, dalam konteks ini, menjadi instrumen untuk mereproduksi hierarki sosial dengan mengaitkan produk tertentu dengan kelas sosial tertentu, sekaligus menciptakan aspirasi konsumsi yang mempertahankan struktur kelas.

Namun, seperti yang diingatkan oleh pemikir Marxis kontemporer seperti Žižek, perjuangan kelas dalam era kapitalisme lanjut tidak selalu mengambil bentuk konfrontasi langsung. Sebaliknya, antagonisme kelas seringkali dimediasi dan dialihkan ke dalam domain simbolik, termasuk melalui praktik konsumsi. Marketing menciptakan apa yang Žižek sebut sebagai "jarak ironis" – kondisi di mana konsumen menyadari manipulasi dan ilusi yang diciptakan oleh marketing, namun tetap berpartisipasi dalam praktik konsumsi seolah-olah mereka tidak mengetahuinya.

Marketing di Era Digital: Pendalaman Eksploitasi dan Komodifikasi Data

Revolusi digital telah membawa transformasi signifikan dalam praktik marketing, namun dari perspektif Marxis, ini hanya mewakili intensifikasi dari logika eksploitasi yang sudah ada. Media sosial dan platform digital telah menciptakan bentuk baru dari apa yang Marx sebut sebagai "subsumsi formal" dan "subsumsi riil" dari kehidupan sosial ke dalam sirkuit kapital. Aktivitas sosial sehari-hari – dari interaksi pertemanan hingga ekspresi identitas – kini langsung diterjemahkan menjadi data yang dapat dikomodifikasi.

Fuchs (2014) dalam "Digital Labour and Karl Marx" menganalisis bagaimana pengguna platform digital sebenarnya melakukan "kerja tidak berbayar" (unpaid labor) ketika mereka menghasilkan konten dan data yang kemudian dimonetisasi oleh perusahaan. Ini mencerminkan apa yang Marx identifikasi sebagai ekstraksi nilai lebih, namun dalam konteks di mana batas antara konsumsi dan produksi, antara waktu kerja dan waktu luang, menjadi semakin kabur.

Marketing digital tidak hanya memperdalam eksploitasi ekonomi, tetapi juga memperluas domain kesadaran yang dapat dikomodifikasi. Teknologi pelacakan, algoritma prediktif, dan teknik neuromarketing memungkinkan penetrasi marketing ke dalam wilayah-wilayah kesadaran yang sebelumnya tidak terjangkau. Bahkan impuls tidak sadar dan disposisi afektif kini dapat dipetakan dan dimanipulasi untuk kepentingan komersial. Kondisi ini mencerminkan apa yang Fisher (2009) dalam "Capitalist Realism" sebut sebagai kolonisasi kapitalisme atas masa depan – ketika algoritma prediktif mengantisipasi keinginan konsumen sebelum konsumen sendiri menyadarinya.

Menuju Kritik Praktis dan Emansipasi: Strategi Kontra-Hegemoni

Analisis Marxis tentang marketing tidak berhenti pada kritik teoretis, tetapi juga mengarah pada praxis – kritik praktis yang bertujuan untuk transformasi sosial. Menghadapi marketing sebagai instrumen hegemoni kapitalis mengharuskan kita untuk mengembangkan strategi kontra-hegemoni yang mempromosikan kesadaran kritis dan solidaritas antar kelas.

Debord dan situasionis mengusulkan strategi "détournement" – pengambilalihan dan pembalikan elemen-elemen budaya dominan untuk tujuan subversif. Dalam konteks marketing, ini dapat berarti menggunakan teknologi komunikasi dan teknik persuasi yang sama untuk menyebarkan pesan-pesan anti-kapitalis dan membangun kesadaran kritis. Gerakan culture jamming dan subvertising merupakan contoh kontemporer dari pendekatan ini.

Jameson (1991) dalam "Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism" menekankan pentingnya "pemetaan kognitif" untuk membantu individu memahami posisi mereka dalam sistem global kapitalisme. Ini mengimplikasikan kebutuhan akan pendidikan kritis tentang media dan literasi marketing yang memungkinkan masyarakat untuk mengenali dan menantang manipulasi ideologis yang terkandung dalam pesan-pesan marketing.

Lebih radikal lagi, Fisher (2009) mengusulkan bahwa tantangan utama bagi kritik kontemporer adalah untuk membayangkan alternatif terhadap kapitalisme ketika "lebih mudah membayangkan akhir dunia daripada akhir kapitalisme." Dalam konteks marketing, ini dapat berarti mengembangkan model-model komunikasi dan distribusi yang tidak berorientasi pada akumulasi kapital, melainkan pada pemenuhan kebutuhan sosial yang autentik dan pembangunan komunitas yang demokratis.

Ilusi kemewahan merek ternama menjerat konsumer, memproyeksikan mimpi palsu yang mengaburkan realitas kapitalisme lanjut

Marketing sebagai Medan Perjuangan Ideologis

Analisis Marxis tentang marketing mengungkapkan bahwa praktik tersebut bukan sekadar teknik netral untuk mempertemukan produsen dan konsumen, melainkan mekanisme sistemik yang memproduksi dan mereproduksi relasi sosial kapitalis. Marketing berfungsi sebagai instrumen ideologis yang melestarikan hegemoni kapital dengan memanipulasi kesadaran, mengkomodifikasi hasrat, dan meredam antagonisme kelas.

Di era digital, eksploitasi yang dimediasi oleh marketing semakin intensif dan ekstensif, menjangkau domain-domain kesadaran yang sebelumnya tidak terjangkau. Namun, seperti yang selalu ditekankan dalam tradisi Marxis, setiap sistem dominasi juga menghasilkan kontradiksi internalnya sendiri dan potensi untuk resistensi. Kritik terhadap marketing dalam perspektif Marxis bukan sekadar latihan intelektual, melainkan bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk emansipasi sosial.

Tantangan bagi pemikiran kritis kontemporer adalah mengembangkan analisis yang memadai tentang kompleksitas marketing dalam kapitalisme lanjut, sekaligus merumuskan strategi-strategi praktis untuk membangun kesadaran kritis dan alternatif-alternatif konkret terhadap sistem yang ada. Hanya dengan menyatukan teori dan praktik dalam cara yang dialektis, kritik Marxis terhadap marketing dapat berkontribusi pada transformasi sosial yang lebih luas menuju masyarakat yang lebih adil dan emansipatoris.

Referensi

Althusser, L. (1971). Ideology and Ideological State Apparatuses. New York: Monthly Review Press.

Barthes, R. (1993). Mythologies. New York: Hill and Wang.

Baudrillard, J. (1998). The Consumer Society: Myths and Structures. London: Sage.

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge: Harvard University Press.

Debord, G. (1967). Society of the Spectacle. Detroit: Black & Red.

Eagleton, T. (2007). Ideology: An Introduction. London: Verso.

Fisher, M. (2009). Capitalist Realism: Is There No Alternative?. Winchester: Zero Books.

Fuchs, C. (2014). Digital Labour and Karl Marx. London: Routledge.

Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. London: Lawrence & Wishart.

Harvey, D. (2014). Seventeen Contradictions and the End of Capitalism. Oxford: Oxford University Press.

Jameson, F. (1991). Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism. Durham: Duke University Press.

Jhally, S. (2006). The Spectacle of Accumulation: Essays in Culture, Media, & Politics. New York: Peter Lang.

Klein, N. (2000). No Logo: Taking Aim at the Brand Bullies. Toronto: Knopf Canada.

Marx, K. (1867/1990). Capital: A Critique of Political Economy, Volume I. London: Penguin Classics.

Žižek, S. (1989). The Sublime Object of Ideology. London: Verso.

Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. New York: Public Affairs.

Posting Komentar

Posting Komentar