Bitcoin dan Marxisme: Kontradiksi Digital Kapitalisme - Ardi Holmes
TjMRlr4CceqlrtkB0Ce0BnkM2b5IZCPJzobEJ1si
Bookmark

Bitcoin dan Marxisme: Kontradiksi Digital Kapitalisme

Bitcoin, meski mengklaim revolusioner, sebenarnya mereproduksi dan memperdalam kontradiksi kapitalisme dalam bentuk digital. Alih-alih menantang sistem finansial global, teknologi ini mewujudkan fetisisme komoditas ekstrem, menciptakan alienasi digital baru, dan memperkuat ketimpangan global. Analisis Marxis mengungkap Bitcoin sebagai simptom krisis kapitalisme kontemporer sekaligus manifestasi puncak finansialisasi—mencerminkan kapitalisme tanpa produksi nilai riil.

Bitcoin, representasi digital kapitalisme, berhadapan dengan Marxisme. Sebuah kontradiksi ideologis di era digital.

Bitcoin telah muncul sebagai fenomena yang mengklaim mampu merevolusi sistem finansial global. Di balik jargon kebebasan ekonomi dan desentralisasi yang didengungkan oleh para pendukungnya, teknologi ini sesungguhnya mewakili kontradiksi mendasar dari kapitalisme di era digital. Marxisme, sebagai kerangka analisis yang tajam terhadap kapitalisme, menawarkan perspektif kritis yang esensial untuk memahami fenomena Bitcoin secara utuh. Esai ini akan mengeksplorasi Bitcoin melalui lensa Marxis, mengungkap bagaimana mata uang kripto ini, alih-alih menantang sistem kapitalisme, justru memperkuat dan mereproduksi kontradiksi-kontradiksi fundamentalnya dalam bentuk baru di ruang digital.

Bitcoin: Ilusi Emansipasi dari Kapitalisme Finansial

Bitcoin diciptakan pada tahun 2008 oleh sosok misterius bernama Satoshi Nakamoto, tepat pada saat krisis finansial global yang memperlihatkan kerapuhan sistem perbankan tradisional. Dalam whitepaper aslinya yang berjudul "Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System", Nakamoto (2008) menyatakan bahwa Bitcoin dirancang sebagai "sistem pembayaran elektronik peer-to-peer" yang memungkinkan transaksi online tanpa perlu melewati institusi finansial sebagai perantara. Nakamoto secara eksplisit mengkritik model kepercayaan berbasis mediasi yang dijalankan oleh bank-bank sentral dan lembaga keuangan, yang menurutnya rentan terhadap pembalikan transaksi dan biaya mediasi yang tinggi.

Retorika anti-establishment yang menjadi dasar kelahiran Bitcoin ini telah menarik banyak pendukung yang memandang teknologi tersebut sebagai alat liberasi ekonomi. Di tengah kekecewaan publik terhadap bank-bank yang diselamatkan menggunakan uang pajak masyarakat (bailout) sementara jutaan orang kehilangan rumah dan pekerjaan, Bitcoin menawarkan janji utopis tentang sistem keuangan yang beroperasi di luar kendali otoritas pusat. Sebagaimana dirangkum oleh Brett Scott (2013) dalam karyanya "The Heretic's Guide to Global Finance", Bitcoin muncul dari pertemuan antara kriptografi cyberpunk, libertarianisme pasar bebas, dan keyakinan tekno-utopis bahwa solusi teknologi dapat mengatasi masalah politik-ekonomi yang kompleks.

Namun, analisis Marxis mengungkap kontradiksi mendasar dalam klaim emansipatoris ini. David Harvey (2017) dalam bukunya "Marx, Capital and the Madness of Economic Reason" mengargumentasikan bahwa kapitalisme memiliki kemampuan luar biasa untuk mereproduksi dirinya melalui bentuk-bentuk baru, mengkooptasi bahkan elemen-elemen yang awalnya tampak subversif. Harvey menulis, "Kapitalisme tidak menyelesaikan krisisnya; ia hanya memindahkannya secara geografis dan temporal." Bitcoin, dengan segala retorika anti-establishmentnya, pada kenyataannya justru menciptakan arena baru bagi akumulasi kapital.

Nathaniel Popper (2016) dalam karyanya "Digital Gold: Bitcoin and the Inside Story of the Misfits and Millionaires Trying to Reinvent Money" melakukan analisis teknis mendalam terhadap struktur Bitcoin dan menekankan bahwa Bitcoin secara struktural memperkuat bukannya menantang logika kapitalisme. Popper menyoroti bagaimana protokol Bitcoin sengaja mendesain kelangkaan artifisial melalui mekanisme "halving" yang mengurangi imbalan penambangan secara berkala, menciptakan dinamika yang serupa dengan komoditas langka seperti emas. Dalam perspektif Marxis, ini adalah reproduksi dari "kelangkaan yang direkayasa" yang sering digunakan kapitalisme untuk mempertahankan nilai tukar yang tinggi.

Selain itu, janji desentralisasi yang didengungkan oleh para pendukung Bitcoin juga terbukti problematis. Studi mengenai desentralisasi Bitcoin (Varghese et al., 2024; Gervais et al., 2014) mengungkapkan bagaimana penambangan Bitcoin telah terkonsentrasi pada segelintir "mining pools" besar, terutama di negara-negara dengan biaya listrik rendah seperti Tiongkok. Alih-alih menghasilkan sistem distribusi kekayaan yang lebih merata, Bitcoin telah menciptakan kelas elit baru—para "early adopters" dan penambang besar yang memonopoli sumber daya komputasi. Jika Marx menguraikan bagaimana kepemilikan alat produksi menjadi basis ketimpangan dalam kapitalisme industrial, maka dalam era Bitcoin, kepemilikan atas modal komputasi dan akses ke teknologi menentukan siapa yang dapat mengakumulasi kekayaan digital.

Analisis empiris oleh Frunza (2015) dalam "Solving Modern Crime in Financial Markets" mengonfirmasi bahwa distribusi kepemilikan Bitcoin sangat timpang, bahkan lebih timpang daripada distribusi kekayaan dalam ekonomi konvensional. Sekitar 1% pemegang Bitcoin menguasai hampir 90% dari total pasokan yang beredar, dengan 40% dari semua Bitcoin dipegang oleh sekitar 1.000 individu—sebuah oligarki digital yang terbentuk dalam kurun waktu singkat. Fenomena ini adalah manifestasi nyata dari proses yang Marx sebut sebagai "akumulasi primitif" dalam bentuk digital—perampasan kekayaan melalui spekulasi, monopoli teknologi, dan eksploitasi informasi asimetris.

Lebih memprihatinkan lagi, Makarov dan Schoar (2021) dalam penelitian mereka "Blockchain Analysis of the Bitcoin Market" menunjukkan bahwa transaksi Bitcoin didominasi oleh aktivitas spekulatif, bukan penggunaan sebagai alat tukar dalam ekonomi riil. Ini menunjukkan bahwa Bitcoin, alih-alih berfungsi sebagai alternatif sistem moneter, justru menjadi perpanjangan dari kapitalisme kasino yang dikritik Marx—di mana penciptaan dan akumulasi uang (M-M') terjadi tanpa produksi nilai nyata.

Fetisisme Komoditas Digital: Bitcoin sebagai Nilai Tukar Tanpa Nilai Guna

Konsep "fetisisme komoditas" merupakan salah satu analisis paling tajam Marx terhadap kapitalisme. Dalam "Das Kapital" Volume I, Marx (1867/1990) menguraikan bagaimana kapitalisme mengubah hubungan sosial antara manusia menjadi hubungan antara benda-benda, di mana nilai tukar mengaburkan nilai guna dan proses produksi sosial yang mendasarinya. Bitcoin mewujudkan fetisisme komoditas ini dalam bentuk yang ekstrem.

Marx menulis: "Karakter mistis komoditas tidak muncul dari nilai gunanya... Karakter enigmatis bentuk komoditas muncul semata-mata dari bentuk sosialnya sendiri." Dalam kasus Bitcoin, kita menyaksikan bentuk terakhir dari abstraksi ini—uang yang bahkan tidak memiliki eksistensi material, sepenuhnya tereduksi menjadi kode digital dan protokol matematika. Seperti diargumentasikan oleh Mark Fisher (2009) dalam "Capitalist Realism", kapitalisme lanjut ditandai oleh proses derealisasi di mana tanda-tanda dan simbol semakin terlepas dari referennya di dunia material.

Slavoj Ĺ˝iĹľek (2020) dalam bukunya "Pandemic!: COVID-19 Shakes the World" mengamati bahwa Bitcoin merepresentasikan bentuk terpuruk dari fetisisme komoditas di era digital—uang yang tereduksi menjadi simbol murni, terlepas dari produksi material apapun. "Bitcoin," tulisnya, "adalah kapitalisme tanpa kapitalisme"—sebuah sistem di mana akumulasi nilai berjalan tanpa terhubung dengan penciptaan nilai yang sesungguhnya dalam ekonomi riil. Ĺ˝iĹľek melanjutkan analisisnya dengan mengidentifikasi Bitcoin sebagai "sublime object of ideology"—objek yang dianggap memiliki nilai intrinsik, padahal sebenarnya nilai tersebut hanya proyeksi dari relasi sosial yang lebih kompleks.

Proses "penambangan" Bitcoin secara khusus menggambarkan absurditas ini. Komputer-komputer yang dioperasikan oleh penambang Bitcoin mengonsumsi energi dalam jumlah masif untuk menyelesaikan teka-teki kriptografis (proof-of-work) yang secara sosial tidak produktif. De Vries (2018) dalam penelitiannya "Bitcoin's Growing Energy Problem" menghitung bahwa pada tahun 2018, jaringan Bitcoin mengkonsumsi sekitar 2,55 gigawatt listrik, setara dengan konsumsi energi negara Irlandia. Angka ini terus meningkat seiring dengan persaingan penambangan yang semakin sengit. Menurut Cambridge Bitcoin Electricity Consumption Index (2022), jaringan Bitcoin kini mengonsumsi sekitar 137 TWh listrik per tahun, melebihi konsumsi listrik negara Swedia.

Fenomena ini adalah sebuah contoh sempurna dari apa yang Marx sebut sebagai "kontradiksi metabolik"—alienasi masyarakat dari relasi ekologis mereka dengan alam. Sebagaimana diargumentasikan oleh John Bellamy Foster (2000) dalam "Marx's Ecology", kapitalisme cenderung menciptakan "celah metabolik" antara aktivitas manusia dan proses regenerasi alami ekosistem. Bitcoin membawa kontradiksi ini ke level baru, menciptakan nilai-nilai finansial melalui konsumsi energi yang masif tanpa berkontribusi pada kapasitas produktif masyarakat.

Dalam kerangka Marxis, nilai seharusnya berasal dari kerja manusia yang menciptakan produk dengan nilai guna sosial. Namun, Bitcoin memutus hubungan ini. Seperti diidentifikasi oleh Yanis Varoufakis (2020) dalam "Another Now: Dispatches from an Alternative Present", Bitcoin hanya memiliki nilai tukar tanpa nilai guna intrinsik. Varoufakis, yang merupakan mantan Menteri Keuangan Yunani dan ekonom Marxis, menjelaskan bahwa Bitcoin adalah "komoditas digital yang hanya memiliki nilai karena orang percaya orang lain akan memberikan nilai padanya di masa depan"—sebuah definisi klasik dari gelembung spekulatif. Ini adalah puncak dari apa yang Marx gambarkan sebagai uang yang "menghasilkan lebih banyak uang" (M-M') tanpa melewati fase produksi komoditas (M-C-M').

Pandangan ini diperkuat oleh analisis ekonom Marxis post-Keynesian seperti Costas Lapavitsas (2016) dalam "Marxist Monetary Theory" yang menguraikan bagaimana "uang digital" seperti Bitcoin mengartikulasikan ulang fungsi-fungsi uang dalam kapitalisme—sebagai alat tukar, penyimpan nilai, dan unit perhitungan—namun dengan cara yang semakin abstrak dan terlepas dari proses produksi riil. Lapavitsas berargumen bahwa fenomena ini menandai fase baru dari apa yang Marx sebut sebagai "kekuasaan sosial dari uang" di mana hubungan sosial semakin dimediasi oleh fetisisme teknologis.

Ilusi skalabilitas membuat bitcoin menjadi banyak diminati oleh siapapun

Alienasi Digital: Bitcoin dan Pergeseran Relasi Sosial dalam Kapitalisme Lanjut

Konsep alienasi adalah fondasi dalam kritik Marx terhadap kapitalisme. Dalam "Economic and Philosophic Manuscripts of 1844", Marx menjelaskan bagaimana kapitalisme menjauhkan pekerja dari: (1) produk kerja mereka, (2) proses produksi itu sendiri, (3) sesama pekerja, dan (4) bahkan dari potensi kemanusiaan mereka sendiri (species-being). Bitcoin dan mata uang kripto lainnya memperluas alienasi ini ke dimensi digital dengan cara-cara yang spesifik.

Christian Fuchs (2019) dalam bukunya "Rereading Marx in the Age of Digital Capitalism" menganalisis secara mendalam bagaimana teknologi blockchain yang mendasari Bitcoin menciptakan bentuk baru alienasi. Dia menulis, "Blockchain bukanlah teknologi kepercayaan, melainkan teknologi ketidakpercayaan." Alih-alih membangun kepercayaan melalui relasi sosial dan institusi komunal, Bitcoin menggantikannya dengan kepercayaan pada algoritma dan kriptografi. Interaksi sosial di-"disintermediasi" dan digantikan oleh protokol teknis, yang semakin mereduksi relasi antar manusia menjadi transaksi ekonomis semata.

Analisis Fuchs menyoroti bagaimana blockchain dan Bitcoin mewakili ekstensi logis dari apa yang Lukács (1971) sebut sebagai "reifikasi"—proses di mana relasi sosial tertentu antara manusia mengambil karakter objektivitas benda yang tampaknya independen dari kehendak manusia. Dalam ekosistem Bitcoin, pasar dan harga dipresentasikan sebagai kekuatan otonom yang beroperasi berdasarkan hukum supply-demand yang tak terelakkan, mengaburkan fakta bahwa mereka sesungguhnya adalah hasil dari relasi sosial dan keputusan kolektif manusia.

Konkretnya, Bitcoin menciptakan apa yang disebut David Golumbia (2016) dalam "The Politics of Bitcoin" sebagai "cyberlibertarianism"—ideologi yang menggabungkan determinisme teknologi dengan individualisme pasar bebas ekstrem. Golumbia menganalisis bagaimana komunitas Bitcoin mengadopsi jargon anti-establishment dan anti-bank sentral, sambil secara simultan mereproduksi ketimpangan dan hierarki kapitalisme. Ini adalah contoh dari apa yang Marx identifikasi sebagai "kesadaran palsu"—di mana individu mengadopsi ideologi yang sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan material mereka.

Lebih jauh lagi, antropolog David Graeber (2011) dalam karyanya yang berpengaruh "Debt: The First 5000 Years" menunjukkan bahwa sepanjang sejarah manusia, uang selalu merupakan institusi sosial yang didasarkan pada jaringan kepercayaan dan kewajiban timbal balik. Graeber menjelaskan bagaimana uang, dalam berbagai bentuknya—dari kerang kauri hingga logam mulia—tidak pernah sekadar teknologi netral, melainkan selalu tertanam dalam sistem sosial dan moral tertentu. Bitcoin, dengan klaim desentralisasinya, paradoksalnya justru menghapus dimensi sosial dari uang dan menyerahkan kendali kepada algoritma impersonal—sebuah bentuk ekstrem dari alienasi yang Marx peringatkan.

Yang menarik, Graeber juga mengidentifikasi bagaimana historis hubungan antara uang dan kekerasan—bagaimana sistem moneter sering muncul bersamaan dengan aparatus koersif negara. Dari perspektif ini, klaim Bitcoin untuk "mengatasi" peran negara dalam moneter menjadi problematis. Alih-alih menciptakan alternatif genuinely emansipatoris, Bitcoin justru menciptakan ruang di mana kekuatan pasar dapat beroperasi tanpa batasan sosial dan regulasi demokratis, potensially memperkuat logika kapitalisme neoliberal yang memprioritaskan kebebasan pasar di atas kesejahteraan sosial.

Studi etnografis oleh Nelms et al. (2017) berjudul "Social Payments: Innovation, Trust, Bitcoin and the Sharing Economy" mengungkapkan bagaimana pengguna Bitcoin sering mengalami level alienasi baru yang unik—kecemasan tentang keamanan digital, stres akibat volatilitas harga, dan kesulitan mengelola kunci kriptografis mereka. Salah satu manifestasi ekstremnya adalah cerita-cerita pengguna yang kehilangan akses ke Bitcoin bernilai jutaan dolar karena lupa kata sandi atau kehilangan hard drive—contoh dramatis dari alienasi dari produk kerja mereka dalam bentuk digital.

Krisis dan Kontradiksi: Bitcoin sebagai Simptom Kapitalisme Finansial yang Kolaps

Teori krisis Marx menyatakan bahwa kapitalisme secara inheren tidak stabil dan akan menghasilkan krisis berkala akibat kontradiksi internalnya, khususnya "kecenderungan tingkat keuntungan untuk turun" (the tendency of the rate of profit to fall). Bitcoin dapat dipahami sebagai respons terhadap—sekaligus manifestasi dari—krisis sistemik kapitalisme kontemporer, khususnya setelah kehancuran finansial 2008.

Robert Brenner (2006) dalam "The Economics of Global Turbulence" menjelaskan bagaimana ekonomi global telah mengalami "long downturn" sejak 1970-an, dengan profitabilitas sektor manufaktur yang terus menurun. Merespons krisis profitabilitas ini, kapital bergerak ke sektor finansial, menciptakan apa yang Giovanni Arrighi (2010) dalam "The Long Twentieth Century" identifikasi sebagai fase "finansialisasi" dalam siklus akumulasi kapital. Fase ini ditandai oleh dominasi spekulasi finansial atas produksi riil, deindustrialisasi, dan pertumbuhan sektor finansial yang tidak proporsional.

Costas Lapavitsas (2013) dalam "Profiting Without Producing" memberikan analisis mendalam tentang bagaimana finansialisasi—dominasi sektor finansial atas ekonomi riil—telah menjadi strategi kapitalisme untuk mengatasi krisis profitabilitas sejak 1970-an. Lapavitsas menjelaskan bagaimana bank-bank beralih dari memediasi kredit untuk produksi menjadi mengekstrak laba melalui praktik-praktik spekulatif seperti sekuritisasi dan derivatif kompleks. Bitcoin, dengan volatilitas ekstremnya dan karakter spekulatifnya, merepresentasikan puncak finansialisasi ini—menciptakan aset yang hampir sepenuhnya terlepas dari ekonomi produktif.

Pada level teoritis, Marx menjelaskan dalam Volume III "Das Kapital" tentang bagaimana kapital menciptakan "fiksi-fiksi" untuk mengatasi krisis sementara, salah satunya adalah "kapital fiktif"—klaim terhadap nilai di masa depan yang diperdagangkan seolah-olah memiliki nilai saat ini. Bitcoin dapat dianalisis sebagai manifestasi kontemporer dari kapital fiktif ini. Seperti diargumentasikan oleh CĂ©dric Durand (2017) dalam "Fictitious Capital", ekonomi kontemporer semakin bergantung pada "fiksi-fiksi" semacam ini, menciptakan gelembung aset berulang kali sebagai upaya untuk mengatasi stagnasi di sektor riil.

Krisis 2008 mengungkapkan kerapuhan sistem finansial yang dibangun di atas kapital fiktif ini, dengan jatuhnya bank-bank besar dan pasar subprime mortgage. Bitcoin, yang lahir hanya beberapa bulan setelah kehancuran Lehman Brothers, secara eksplisit mempromosikan dirinya sebagai alternatif terhadap sistem perbankan yang telah gagal. Namun, seperti diargumentasikan oleh McNally (2010) dalam "Global Slump", solusi teknokratis semacam ini tidak mengatasi kontradiksi fundamental kapitalisme, melainkan hanya memindahkannya ke domain baru.

Jika Marx menyebut uang sebagai "ekuivalen universal" yang memediasi pertukaran komoditas, maka Bitcoin menawarkan "ekuivalen universal" yang bahkan lebih abstrak, lebih global, dan lebih tidak terikat oleh batasan material. Volatilitas harga Bitcoin yang ekstrem—dengan lonjakan dari sekitar $1.000 pada awal 2017 ke hampir $20.000 pada akhir tahun yang sama, lalu jatuh ke bawah $4.000 pada 2018, dan kembali melonjak ke $64.000 pada 2021 sebelum jatuh drastis lagi—mencerminkan instabilitas sistemik yang Marx prediksi sebagai ciri intrinsik kapitalisme.

Yang lebih mengkhawatirkan, seperti ditekankan oleh Thomas Piketty (2013) dalam "Capital in the Twenty-First Century", aset-aset digital seperti Bitcoin cenderung memperparah ketimpangan. Mereka yang memiliki akses ke informasi, teknologi, dan kapital akan diuntungkan secara tidak proporsional, sementara mayoritas populasi global tetap tereksklusi dari sistem finansial baru ini. Analisis empiris oleh Böhme et al. (2015) dalam "Bitcoin: Economics, Technology, and Governance" mengonfirmasi bahwa adopsi Bitcoin sangat terkonsentrasi di negara-negara kaya dan di kalangan individu berpendidikan tinggi dengan akses ke infrastruktur digital—memperlebar, bukannya mempersempit, kesenjangan digital global.

Signifikansi Bitcoin dalam konteks krisis kapitalisme juga terlihat dalam keterhubungannya dengan sistem finansial tradisional. Awalnya dipromosikan sebagai alternatif radikal terhadap sistem perbankan, Bitcoin kini semakin diintegrasikan ke dalam pasar finansial mainstream melalui ETF (Exchange-Traded Funds), futures, dan instrumen derivatif lainnya. Seperti diargumentasikan oleh Andrew Kliman (2011) dalam "The Failure of Capitalist Production", kapitalisme memiliki kapasitas untuk mengkooptasi dan menetralkan tantangan terhadapnya—Bitcoin, alih-alih menggantikan sistem finansial tradisional, justru menjadi perpanjangannya.

Potensi Revolusioner atau Reaksi Kontra-Revolusioner? Bitcoin di Persimpangan Sejarah

Meskipun kritik Marxis terhadap Bitcoin sangat tajam, penting untuk mempertimbangkan potensi dialektisnya. Seperti diingatkan oleh Rosa Luxemburg (1913/2003) dalam "The Accumulation of Capital", setiap fase kapitalisme mengandung benih-benih kontradiksi yang berpotensi melahirkan transformasi revolusioner. "Perluasan kapitalisme," tulisnya, "secara simultan memperluas arena kemungkinan penentangannya."

Teknologi blockchain yang mendasari Bitcoin memperkenalkan konsep pencatatan terdesentralisasi dan konsensus kolektif yang, jika diaplikasikan dengan kerangka politik berbeda, bisa mendukung bentuk-bentuk baru organisasi ekonomi demokratis. 

Pada praktiknya, kita mulai melihat eksperimen-eksperimen dengan penggunaan blockchain untuk tujuan sosial yang berbeda dari Bitcoin. Misalnya, "Faircoin" adalah kripto yang didesain untuk mendukung ekonomi kooperatif dan solidaritas, sementara proyek seperti "Circles" mengeksplorasi konsep universal basic income berbasis blockchain. Kolektif seperti "Economic Space Agency" berusaha mengembangkan "protokol ekonomi" alternatif yang mendemokratisasi penciptaan dan distribusi nilai, menggantikan sistem yang didorong akumulasi pribadi dengan yang memprioritaskan kebutuhan sosial.

Namun, penting untuk membedakan potensi teknologi dari manifestasi spesifik yang ditunjukkan Bitcoin saat ini. Dalam bentuknya sekarang, Bitcoin lebih mewakili apa yang Walter Benjamin (1940/2019) dalam "On the Concept of History" sebut sebagai "reaksi kontra-revolusioner"—respon defensif sistem kapital untuk mempertahankan diri dari transformasi radikal melalui modifikasi superfisial. Benjamin menganalisis bagaimana kapitalisme mengkooptasi inovasi teknologi yang berpotensi emansipatif dan mengarahkannya untuk tujuan dominasi dan ekstraksi nilai.

Analisis Benjamin memiliki resonansi khusus dengan sejarah Internet—teknologi yang awalnya dikembangkan oleh komunitas ilmiah dengan ethos berbagi pengetahuan, namun semakin dikomodifikasi dan diprivatisasi oleh kapital. Seperti diargumentasikan oleh Robert McChesney (2013) dalam "Digital Disconnect", Internet mengalami "enclosure of the digital commons" yang paralel dengan "enclosure" tanah komunal yang Marx identifikasi sebagai prasyarat akumulasi primitif kapitalisme. Bitcoin, dengan retorika libertariannya tentang kebebasan dari kendali negara, ironisnya justru mempercepat privatisasi dan komodifikasi ruang digital ini.

John Holloway (2010) dalam "Crack Capitalism" menawarkan perspektif nuansir dengan mengakui bahwa Bitcoin, seperti banyak fenomena kapitalis lainnya, bersifat kontradiktif—secara simultan memperkuat logika kapital sekaligus potensially membuka "celah" untuk menantangnya. Holloway mengajukan konsep "crack capitalism"—upaya untuk menciptakan ruang-ruang non-kapitalis dalam keretakan sistem dominan. Dari perspektif ini, elemen-elemen tertentu dalam teknologi blockchain—seperti transparansi, aksesibilitas, dan kooperasi terdesentralisasi—dapat diappropriasi untuk proyek politik anti-kapitalis.

Dalam konteks ini, kritik Marxis terhadap Bitcoin bukan berarti penolakan teknologi blockchain secara keseluruhan, melainkan analisis tentang bagaimana teknologi selalu tertanam dalam relasi sosial tertentu. Sebagaimana ditekankan oleh Langdon Winner (1986) dalam "The Whale and the Reactor", teknologi tidak pernah netral—ia memiliki "politik" intrinsik yang mengartikulasikan dan memperkuat relasi kekuasaan tertentu. Bitcoin, dalam bentuknya saat ini, memiliki "politik" yang mendukung nilai-nilai individualisme kompetitif, akumulasi privat, dan deregulasi—nilai-nilai yang sejalan dengan neoliberalisme, bukan sosialisme.

Tantangan bagi gerakan progresif adalah mengidentifikasi elemen-elemen dalam teknologi blockchain yang bisa dipisahkan dari tujuan kapitalistik Bitcoin dan direpurposing untuk tujuan kolektif. Ini selaras dengan apa yang diadvokasi oleh Nick Dyer-Witheford (2015) dalam "Cyber-Proletariat" sebagai strategi "commons counter-appropriation"—mengambil kembali teknologi dari kapital dan mengarahkannya untuk memenuhi kebutuhan sosial. Dalam konteks blockchain, ini bisa berarti pengembangan blockchain publik yang demokratis, kriptocurrency yang memprioritaskan distribusi ketimbang akumulasi, atau sistem pencatatan terdesentralisasi untuk manajemen sumber daya bersama.

Dimensi Global Bitcoin: Analisis Neo-Kolonial dan Geopolitik

Satu aspek krusial yang sering dilewatkan dalam diskusi mainstream tentang Bitcoin adalah implikasinya pada relasi kekuasaan global, khususnya dinamika neo-kolonial antara negara-negara Utara dan Selatan global. Sebagaimana diargumentasikan oleh Samir Amin (2018) dalam "Modern Imperialism, Monopoly Finance Capital, and Marx's Law of Value", sistem finansial global kontemporer merupakan perpanjangan dari struktur imperialis, memfasilitasi ekstraksi nilai dari periferi ke pusat ekonomi dunia.

Bitcoin, meskipun sering disajikan sebagai teknologi apolitik, sesungguhnya tertanam dalam geopolitik global. Penambangan Bitcoin, misalnya, telah mengalami pola "migrasi" yang merefleksikan relasi kekuasaan global. Awalnya terkonsentrasi di Tiongkok karena biaya listrik murah dan produksi hardware yang efisien, penambangan kemudian bergeser ke lokasi-lokasi seperti Kazakhstan dan Amerika Latin setelah regulasi ketat di Tiongkok—mengilustrasikan mobilitas kapital yang Marx identifikasi sebagai karakteristik kapitalisme.

Hileman dan Rauchs (2017) dalam "Global Cryptocurrency Benchmarking Study" mengungkapkan bagaimana infrastruktur kripto secara geografis terkonsentrasi di negara-negara Utara global, dengan mayoritas pertukaran (exchanges), dompet digital (wallets), dan perusahaan pembayaran berbasis di Amerika Utara dan Eropa Barat. Sementara itu, aktivitas penambangan yang intensif energi dan menciptakan polusi sering dilokalisasi di negara-negara Selatan global, menciptakan apa yang Nixon (2013) sebut sebagai "slow violence" ekologis—kerusakan lingkungan gradual yang tidak proporsional memengaruhi komunitas miskin dan terpinggirkan.

Lebih jauh lagi, narasi teknologi Bitcoin sering membawa asumsi kolonial tentang "modernisasi" dan "perkembangan". Promosi Bitcoin sebagai solusi untuk "unbanked population" di negara-negara berkembang, seperti dianalisis oleh Scott (2016) dalam "How Can Cryptocurrency and Blockchain Technology Play a Role in Building Social and Solidarity Finance?", sering mengabaikan konteks sosio-ekonomi lokal dan mengusulkan solusi teknokratis untuk masalah struktural yang berakar pada ketimpangan global. Ini merefleksikan apa yang Arturo Escobar (1995) dalam "Encountering Development" kritik sebagai "developmentalism"—ideologi yang mengasumsikan bahwa masyarakat non-Barat harus mengikuti jalur perkembangan teknologi dan ekonomi yang telah ditentukan oleh Barat.

Di sisi lain, beberapa negara di Selatan global juga mencoba menggunakan kripto untuk menantang hegemoni finansial Utara global, khususnya dominasi dolar AS sebagai mata uang cadangan global. Venezuela, misalnya, meluncurkan Petro, cryptocurrency berbasis minyak, sebagai upaya untuk mengatasi sanksi ekonomi AS, meskipun upaya ini sebagian besar gagal. El Salvador menjadikan Bitcoin sebagai alat pembayaran resmi pada 2021, sebuah eksperimen kontroversial yang dianggap beberapa analis sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada sistem moneter yang didominasi AS.

Namun, seperti diidentifikasi oleh Alex Foti (2017) dalam "General Theory of the Precariat", kripto seringkali hanya mereproduksi hierarki kekuasaan global yang sudah ada, dengan manfaat ekonomi utamanya mengalir ke elit teknologi dan finansial yang sudah memiliki privilese, sementara risiko dan biaya sosial-ekologisnya ditanggung oleh masyarakat yang terpinggirkan.

Analisis Samir Amin tentang "pembangunan yang tidak merata" (uneven development) menawarkan kerangka yang berguna untuk memahami Bitcoin dalam konteks global. Amin menekankan bagaimana "inti" sistem kapitalis global mengembangkan teknologi dan infrastruktur yang memungkinkan mereka mengekstrak nilai dari "periferi". Dalam kasus Bitcoin, negara-negara maju memiliki infrastruktur digital, akses modal, dan keahlian teknis yang memungkinkan mereka mendominasi ekonomi kripto, sementara "periferi" seringkali hanya berperan sebagai lokasi ekstraksi sumber daya atau pasar spekulatif yang rentan.

RamĂłn Grosfoguel (2013) dalam "Decolonizing Post-Colonial Studies and Paradigms of Political-Economy" menawarkan perspektif dekolonial yang relevan, mengidentifikasi bagaimana diskursus universalitas dan kemajuan teknologi sering menyembunyikan "epistemicide"—penghapusan sistematis pengetahuan dan praktik ekonomi alternatif dari masyarakat Global South. Bitcoin, dengan arsitektur teknisnya yang dirancang utamanya oleh insinyur dari negara-negara Barat dan nilai-nilai libertariannya yang berakar kuat pada tradisi politik Barat, mengandung bias epistemik yang tidak diakui.

Kritik ini diperkuat oleh penelitian empiris mengenai adopsi Bitcoin di negara-negara berkembang. Studi oleh Maurer (2015) dalam "How Would You Like To Pay?" menunjukkan bahwa adopsi Bitcoin di banyak negara Afrika dan Asia Selatan terhambat oleh kendala infrastruktur, kesenjangan literasi digital, dan ketidaksesuaian dengan praktik ekonomi lokal yang menekankan kepercayaan berbasis komunitas dan fleksibilitas—elemen yang justru dihilangkan oleh protokol Bitcoin yang kaku dan impersonal.

Dari perspektif geopolitik, Bitcoin juga merefleksikan pergeseran dalam ekonomi politik global. Aset kripto muncul bersamaan dengan melemahnya hegemoni finansial AS pasca-2008 dan kebangkitan multipolaritas ekonomi global, khususnya pengaruh Tiongkok. Arrighi (2007) dalam "Adam Smith in Beijing" menganalisis bagaimana transisi hegemoni historis sering ditandai dengan fase finansialisasi intens, dan Bitcoin dapat dilihat sebagai simptom dari transisi hegemonik kontemporer ini—mencerminkan baik kerapuhan sistem finansial yang ada maupun ketidakpastian tentang apa yang akan menggantikannya.

Yang signifikan, banyak negara dengan hubungan antagonistik terhadap hegemoni AS—seperti Rusia, Iran, dan Korea Utara—telah menunjukkan minat strategis pada kripto sebagai sarana untuk menghindari sanksi dan menantang dominasi dolar. Ini mengungkapkan dimensi geopolitik Bitcoin yang sering disamarkan oleh retorika netralitas teknologi. Sebagaimana diargumentasikan oleh Varoufakis (2020), teknologi moneter tidak pernah benar-benar netral, melainkan selalu mewujudkan dan memperkuat konfigurasi kekuasaan tertentu.

Di tengah dinamika ini, negara-negara dominan tidak tinggal diam. Amerika Serikat dan Uni Eropa semakin mengembangkan kerangka regulasi untuk kripto, sementara bank-bank sentral di seluruh dunia bereksperimen dengan Central Bank Digital Currencies (CBDCs)—upaya jelas untuk mengkooptasi inovasi teknologi blockchain sambil mempertahankan kontrol atas sistem moneter. Ini merefleksikan apa yang Gramsci sebut sebagai transformisme—kemampuan kelas dominan untuk mengabsorbsi elemen-elemen yang berpotensi mengganggu ke dalam struktur hegemoni yang ada.

Pada akhirnya, Bitcoin juga menjadi bagian dari kepemilikam segelintir pemodal

Bitcoin sebagai Cermin Kontradiksi Kapitalisme Digital

Analisis Marxis terhadap Bitcoin mengungkapkan bagaimana teknologi yang mengklaim revolusioner ini justru merefleksikan dan memperdalam kontradiksi fundamental kapitalisme. Alih-alih menciptakan alternatif terhadap kapitalisme finansial, Bitcoin mereproduksi logika akumulasi, spekulasi, dan komodifikasi dalam bentuk digital yang lebih intensif. Fenomena ini menjustifikasi kata-kata Marx bahwa kapitalisme tidak pernah benar-benar menyelesaikan krisisnya, melainkan hanya memindahkannya—dalam kasus ini, ke domain digital.

Kritik terhadap Bitcoin ini tidak dimaksudkan sebagai penolakan monolitik terhadap potensi teknologi blockchain. Sebaliknya, dengan mengidentifikasi bagaimana Bitcoin tertanam dalam relasi produksi kapitalis, analisis Marxis membuka kemungkinan untuk memisahkan aspek-aspek teknologi ini dari bentuk sosialnya saat ini, dan memikirkan kembali bagaimana teknologi serupa dapat digunakan untuk tujuan emansipatoris.

Seperti ditekankan oleh Marx, kontradiksisi dalam kapitalisme juga mengandung bibit transformasi. Teknologi blockchain mendemonstrasikan kemungkinan teknis untuk koordinasi ekonomi terdesentralisasi dan transparan yang, dalam konteks sosial berbeda, dapat mendukung sistem produksi dan distribusi yang lebih demokratis dan egaliter. Pengembangan cryptocurrency alternatif yang menekankan nilai-nilai kooperatif dan solidaritas—bukan persaingan dan akumulasi—menunjukkan bahwa potensi ini mulai dieksplorasikan.

Namun, realisasi potensi emansipatoris ini membutuhkan lebih dari sekadar inovasi teknologi. Ini memerlukan transformasi fundamental dalam relasi sosial produksi, serta pengorganisasian politik yang sadar menghadapi kekuatan struktural kapitalisme global. Seperti diingatkan Marx, "kaum filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara; intinya adalah mengubahnya."

Bitcoin telah mempertajam kontradiksi antara potensi teknologi digital untuk memfasilitasi kolaborasi global dan demokratisasi ekonomi, dengan realitas eksploitasi dan eksklusivitas yang dihasilkannya dalam konteks kapitalisme. Sebagai simptom dan katalis krisis kapitalisme kontemporer, Bitcoin mungkin tidak menawarkan jalan keluar dari kontradiksi sistem, tetapi analisis kritisnya mengungkapkan garis patahan di mana transformasi sosial mungkin terjadi.

Dalam dialektika kapitalisme digital yang sedang berkembang, Bitcoin sekaligus merepresentasikan puncak logika komodifikasi kapitalis dan pengingat akan kemungkinan sosio-teknis alternatif yang belum terealisasi. Memahami kontradiksisi ini adalah langkah penting dalam proyek Marxis yang berkelanjutan untuk tidak hanya menginterpretasikan tetapi juga mengubah dunia—baik digital maupun material.

Daftar Pustaka

Amin, S. (2018). Modern Imperialism, Monopoly Finance Capital, and Marx's Law of Value. New York: Monthly Review Press.

Arrighi, G. (2010). The Long Twentieth Century: Money, Power, and the Origins of Our Times. London: Verso.

Arrighi, G. (2007). Adam Smith in Beijing: Lineages of the Twenty-First Century. London: Verso.

Benjamin, W. (2019). On the Concept of History. In H. Eiland & M. W. Jennings (Eds.), Selected Writings, Volume 4: 1938-1940 (pp. 389-400). Cambridge: Harvard University Press. (Original work published 1940)

Böhme, R., Christin, N., Edelman, B., & Moore, T. (2015). Bitcoin: Economics, Technology, and Governance. Journal of Economic Perspectives, 29(2), 213-238.

Brenner, R. (2006). The Economics of Global Turbulence. London: Verso.

Cambridge Bitcoin Electricity Consumption Index. (2022). Cambridge Centre for Alternative Finance. University of Cambridge.

Popper, Nathaniel. (2016). Digital Gold: Bitcoin and the Inside Story of the Misfits and Millionaires Trying to Reinvent Money (Reprint edition). Harper Paperbacks.

De Vries, A. (2018). Bitcoin's Growing Energy Problem. Joule, 2(5), 801-805.

Durand, C. (2017). Fictitious Capital: How Finance Is Appropriating Our Future. London: Verso.

Dyer-Witheford, N. (2015). Cyber-Proletariat: Global Labour in the Digital Vortex. London: Pluto Press.

Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World. Princeton: Princeton University Press.

Fisher, M. (2009). Capitalist Realism: Is There No Alternative?, Winchester: Zero Books.

Foster, J. B. (2000). Marx's Ecology: Materialism and Nature. New York: Monthly Review Press.

Foti, A. (2017). General Theory of the Precariat: Great Recession, Revolution, Reaction. Amsterdam: Institute of Network Cultures.

Frunza, M. C. (2015). Solving Modern Crime in Financial Markets: Analytics and Case Studies. London: Academic Press.

Fuchs, C. (2019). Rereading Marx in the Age of Digital Capitalism. London: Pluto Press.

Gervais, A., Karame, G., Capkun, S., & Capkun, V. (2014). Is Bitcoin a Decentralized Currency?. IEEE Security & Privacy, 12(3), 54-60.

Golumbia, D. (2016). The Politics of Bitcoin: Software as Right-Wing Extremism. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Graeber, D. (2011). Debt: The First 5000 Years (Updated and Expanded Edition). Brooklyn: Melville House.

Grosfoguel, R. (2013). Decolonizing Post-Colonial Studies and Paradigms of Political-Economy: Transmodernity, Decolonial Thinking, and Global Coloniality. Journal of Peripheral Cultural Production of the Luso-Hispanic World, 1(1), 41-68.

Harvey, D. (2017). Marx, Capital and the Madness of Economic Reason. London: Profile Books.

Hileman, G., & Rauchs, M. (2017). Global Cryptocurrency Benchmarking Study. Cambridge Centre for Alternative Finance, University of Cambridge.

Holloway, J. (2010). Crack Capitalism. London: Pluto Press.

Kliman, A. (2011). The Failure of Capitalist Production: Underlying Causes of the Great Recession. London: Pluto Press.

Lapavitsas, C. (2013). Profiting Without Producing: How Finance Exploits Us All. London: Verso.

Lapavitsas, C. (2016). Marxist Monetary Theory: Collected Papers. Leiden: Brill.

Lukács, G. (1971). History and Class Consciousness: Studies in Marxist Dialectics. Cambridge: MIT Press.

Luxemburg, R. (2003). The Accumulation of Capital. London: Routledge. (Original work published 1913)

Makarov, I., & Schoar, A. (2021). Blockchain Analysis of the Bitcoin Market. National Bureau of Economic Research Working Paper Series, No. 29396.

Marx, K. (1990). Capital: A Critique of Political Economy, Volume I. London: Penguin Classics. (Original work published 1867)

Marx, K. (1993). Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. In Early Writings. London: Penguin Classics. (Original work published 1932)

Maurer, B. (2015). How Would You Like To Pay? How Technology Is Changing the Future of Money. Durham: Duke University Press.

McChesney, R. W. (2013). Digital Disconnect: How Capitalism is Turning the Internet Against Democracy. New York: The New Press.

McNally, D. (2010). Global Slump: The Economics and Politics of Crisis and Resistance. Oakland: PM Press.

Nakamoto, S. (2008). Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System. Retrieved from https://bitcoin.org/bitcoin.pdf

Nelms, T. C., Maurer, B., Swartz, L., & Mainwaring, S. (2017). Social Payments: Innovation, Trust, Bitcoin, and the Sharing Economy. Theory, Culture & Society, 35(3), 13-33.

Nixon, R. (2013). Slow Violence and the Environmentalism of the Poor. Cambridge: Harvard University Press.

Piketty, T. (2013). Capital in the Twenty-First Century. Cambridge: Harvard University Press.

Scott, B. (2014). The Heretic's Guide to Global Finance: Hacking the Future of Money. London: Pluto Press.

Scott, B. (2016). How Can Cryptocurrency and Blockchain Technology Play a Role in Building Social and Solidarity Finance? United Nations Research Institute for Social Development Working Paper, No. 2016-1.

Varghese, S., Mishra, S. P., & Radhakrishnan, S. (2024). Is decentralization sustainable in the bitcoin system? Decision Support Systems, 180, 114178. https://doi.org/10.1016/j.dss.2024.114178

Varoufakis, Y. (2020). Another Now: Dispatches from an Alternative Present. London: Bodley Head.

Winner, L. (1986). The Whale and the Reactor: A Search for Limits in an Age of High Technology. Chicago: University of Chicago Press.

Žižek, Slavoj. (2020). Pandemic!: COVID-19 Shakes the World. OR Books. https://doi.org/10.2307/j.ctv16t6n4q

Posting Komentar

Posting Komentar