Mengapa TikTok Menjadi Platform dengan Pengguna IQ Terendah di Indonesia? - Ardi Holmes
TjMRlr4CceqlrtkB0Ce0BnkM2b5IZCPJzobEJ1si
Bookmark

Mengapa TikTok Menjadi Platform dengan Pengguna IQ Terendah di Indonesia?

Ketika hiburan instan menguasai fokus kita, apakah kita masih bisa berfikir kritis? Atau justru lebih tantrum?

Dilema TikTok: Populer, Menghibur, tapi Dangkal?

TikTok telah menjadi fenomena global yang mengubah cara kita mengonsumsi konten digital. Dengan video pendek yang penuh warna dan ritme cepat, platform ini sukses menarik perhatian jutaan pengguna, terutama di kalangan anak muda. Namun, di balik popularitasnya, muncul satu pertanyaan kontroversial: Apakah TikTok mendorong penurunan kualitas intelektual penggunanya? Beberapa pihak bahkan berani menyebutnya sebagai platform dengan pengguna IQ terendah di Indonesia karena karakteristik kontennya yang dianggap dangkal dan minim substansi.

Mengapa TikTok memiliki reputasi seperti itu, dan apa dampaknya terhadap cara kita berpikir dan memproses informasi? Dalam artikel ini, gue akan membahas alasan di balik klaim tersebut, menelusuri bagaimana konten viral di TikTok memengaruhi rentang perhatian dan kebiasaan mental pengguna, serta mengapa tren di platform ini sering dianggap hanya sekadar imitasi dan minim kreativitas.

Dampak Rentang Perhatian dan Pembentukan Kebiasaan Mental yang Terbentuk

Fenomena TikTok bukan hanya tentang konten viral yang menghibur, tetapi juga bagaimana konten-konten ini memengaruhi cara kerja otak kita. Konten video pendek TikTok, dengan durasi hanya 15-60 detik, didesain untuk memanjakan pengguna dengan suguhan instan. Ini menciptakan pola konsumsi yang membuat otak terbiasa menerima informasi dalam porsi kecil, yang akhirnya berpengaruh pada kemampuan kita untuk fokus dalam jangka waktu lama.

Studi Tentang Penurunan Rentang Perhatian

Menurut penelitian Microsoft, rentang perhatian manusia telah menurun menjadi sekitar 8 detik – lebih pendek dibandingkan ikan mas. TikTok secara tidak langsung memprogram ulang otak kita untuk berpindah fokus dengan cepat. Saat satu video selesai, algoritma akan langsung memutar video berikutnya, memberikan stimulasi dopamin yang terus-menerus dan menciptakan siklus ketagihan. Mungkin lu pernah ngerasain betapa sulitnya untuk fokus pada pada hal apapun setelah seharian scroll TikTok? Ini bukan kebetulan, melainkan efek dari kebiasaan otak yang terbentuk akibat paparan konten instan.

Efek Dopamin dan Ketagihan Mental

Setiap kali kita menikmati video TikTok yang menghibur, otak kita melepaskan dopamin, hormon yang membuat kita merasa bahagia. Ini memicu keinginan untuk terus menonton lebih banyak video agar bisa mendapatkan ‘dosis’ dopamin berikutnya. Sayangnya, proses ini membuat kita terbiasa dengan kepuasan instan dan kesulitan untuk bertahan dalam aktivitas yang membutuhkan usaha mental yang lebih serius, seperti belajar atau bekerja.

Ketika otak mulai mengasosiasikan kesenangan dengan konten instan, kemampuan untuk bertahan dengan tugas-tugas yang kompleks menurun. Hal ini berdampak pada cara kita menghadapi tantangan di dunia nyata yang sering kali memerlukan pemikiran mendalam dan konsentrasi. Ini juga memengaruhi bagaimana generasi muda melihat dan menyikapi informasi – lebih tertarik pada hal yang cepat dan ringan dibandingkan informasi yang memerlukan refleksi mendalam.

Seberapa lama waktu yang lu habiskan di TikTok? 5 jam, 6 jam atau 12 jam sehari?. Selamat IQ Lu mulai beberapa hari kedepan berkurang 10-20%

Budaya Ikut-ikutan dan Tren Dangkal: Antara Kreativitas dan Imitasi Massal

Salah satu daya tarik terbesar TikTok adalah kemampuannya menciptakan tren yang viral secara cepat. Namun, tren-tren ini seringkali didominasi oleh konten yang dangkal dan mengutamakan hiburan instan. Mulai dari tantangan menari, lipsync, hingga tren komedi receh, mayoritas konten di TikTok lebih sering menekankan aspek visual dan hiburan dibandingkan substansi atau makna mendalam. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah TikTok mendorong kreativitas sejati atau hanya memfasilitasi imitasi massal yang minim inovasi?

Budaya Ikutin Tren Biar FYP

Di TikTok, satu video yang viral bisa dengan cepat diikuti oleh ribuan bahkan jutaan pengguna lainnya. Fenomena ini menciptakan budaya di mana banyak pengguna merasa terdorong untuk ikut membuat versi mereka sendiri dari tren yang sedang populer, meski tanpa elemen baru atau pengembangan ide yang berarti. Akibatnya, TikTok dipenuhi oleh konten yang serupa dan berulang, membuat originalitas menjadi sesuatu yang semakin langka.

Gue yakin lu pernah lihat video yang isinya hampir sama persis, hanya berbeda wajah kreatornya. Ini adalah contoh nyata bagaimana budaya ikut-ikutan di TikTok lebih dominan dibandingkan dorongan untuk menciptakan konten unik. Sisi positifnya, tren ini memang bisa meningkatkan partisipasi dan kreativitas pengguna dalam bentuk yang sederhana. Tapi di sisi lain, ini juga membatasi potensi untuk berpikir di luar kotak dan menciptakan sesuatu yang benar-benar baru dan bermakna.

Kreator Edukatif yang Kalah Pamor

Walaupun ada kreator yang berusaha menyajikan konten edukatif dan inspiratif, algoritma TikTok sering kali tidak mendukung mereka. Algoritma lebih cenderung mempromosikan konten yang cepat dan mudah dicerna. Akibatnya, video-video yang menawarkan wawasan atau edukasi mendalam sering kalah saing dengan video-video yang lebih ringan dan dangkal. Konten edukatif membutuhkan waktu untuk dipahami dan diserap, sesuatu yang berlawanan dengan sifat konsumsi cepat di TikTok.

Kreator yang berusaha menawarkan sesuatu yang lebih berbobot harus menghadapi tantangan besar untuk mendapatkan perhatian di platform ini. Mereka perlu berjuang lebih keras untuk menembus dominasi konten hiburan yang sederhana, yang jauh lebih mudah viral dan diterima oleh audiens.

Imitasi vs. Inovasi

Pertanyaan besar lainnya adalah apakah TikTok benar-benar mendorong inovasi atau malah membatasi penggunanya pada tren yang berulang-ulang? Ketika pengguna terus-menerus fokus pada tren yang sama, ide-ide baru jadi terbatas dan sulit muncul ke permukaan. TikTok menjadi platform yang lebih mengutamakan replikasi daripada kreasi, membuat konten unik dan kreatif sulit bersaing dengan konten yang hanya mengandalkan popularitas tren.

Ketika originalitas terkikis, pengguna menjadi terbiasa dengan konten yang sudah dikenalnya. Hal ini menciptakan siklus di mana pengguna lebih senang dengan sesuatu yang familiar, dan algoritma TikTok semakin mendukung tren tersebut, mempersempit peluang untuk kreativitas sejati berkembang.

Ketika trend jauh lebih diunggulkan dibanding kreativitas, maka mulai saat ini ucapkan selamat tinggal pada sisi kreatif lu sebagai manusia

Apakah TikTok Benar-Benar Merendahkan Kualitas Intelektual Kita?

Setelah menelusuri berbagai aspek tentang bagaimana TikTok bekerja dan memengaruhi penggunanya, kita bisa menyimpulkan bahwa klaim TikTok sebagai platform dengan pengguna IQ terendah di Indonesia memang memiliki beberapa landasan yang masuk akal, meski tidak sepenuhnya adil untuk digeneralisasi. TikTok menyediakan platform yang mampu menghibur, menarik, dan membuat konten menjadi mudah diakses oleh siapa saja. Namun, di sisi lain, platform ini juga menjadi contoh nyata bagaimana teknologi dapat membentuk dan mengarahkan kebiasaan konsumsi informasi yang kurang substansial.

Dampak Pada Rentang Perhatian dan Kapasitas Berpikir

Rentang perhatian yang semakin pendek dan ketergantungan pada dopamin instan dari konten-konten pendek adalah dampak nyata dari penggunaan TikTok yang berlebihan. Kita jadi terbiasa mencari hiburan cepat tanpa melibatkan proses berpikir yang mendalam. Generasi muda, sebagai pengguna terbesar TikTok, terpapar pada pola pikir instan ini, yang bisa memengaruhi bagaimana mereka menangani tantangan di dunia nyata yang membutuhkan pemikiran kritis dan ketekunan.

Budaya Imitasi dan Minimnya Inovasi

Budaya ikut-ikutan dan tren dangkal mempersempit ruang untuk inovasi. TikTok membuat banyak pengguna merasa nyaman dengan meniru tren yang sudah ada, ketimbang menciptakan sesuatu yang baru dan orisinal. Originalitas menjadi barang langka di tengah gempuran video yang serupa satu sama lain, dan ini berdampak pada bagaimana kita memandang kreativitas.

Namun, tidak adil jika kita menyebut semua pengguna TikTok memiliki kualitas intelektual yang rendah. Ada banyak kreator yang berusaha menembus dominasi konten dangkal dengan menyajikan informasi yang mendidik dan memperkaya wawasan. Sayangnya, mereka harus berjuang keras agar kontennya bisa bersaing di antara video-video hiburan yang lebih ringan dan mudah viral.

Arah Masa Depan TikTok dan Konten Digital

Apakah ada harapan untuk perubahan? TikTok, seperti platform lainnya, bisa berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tren yang diciptakan penggunanya. Jika lebih banyak kreator mulai fokus membuat konten yang berkualitas dan edukatif, mungkin algoritma TikTok akan menyesuaikan diri dan memberikan tempat yang lebih besar untuk konten bermakna. Pilihan ada di tangan kita sebagai pengguna: apakah kita ingin tetap terjebak dalam siklus konten instan, atau mulai mendukung dan mencari konten yang bisa memperkaya intelektual kita?

Ayo Diskusi, Menurut Lu Gimana ?

Gue pengen tahu, setuju gak lu sama pandangan ini? Apakah TikTok benar-benar menurunkan standar intelektual kita, atau sebenarnya masih ada ruang untuk konten bermakna di platform ini? Gue undang lu buat diskusi di kolom komentar. Jangan biarkan opini gue jadi satu-satunya suara – mari kita lihat pandangan lu dan bagaimana lu memaknai peran TikTok dalam kehidupan digital kita.

Share artikel ini dan kasih pendapat lu di kolom komentar. Jangan lupa gabung di blog ini untuk diskusi lebih lanjut dan berkembang bersama!

Hasil Riset dan Bacaan gua Bisa lu liat di bawah:

Jurnal dan Skripsi:

Yusna, A. M. (2024): Penelitian ini membahas bagaimana penggunaan media sosial TikTok mempengaruhi perilaku konsumtif mahasiswa di Universitas Pakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TikTok mempengaruhi kebiasaan belanja dan perilaku konsumsi mahasiswa, di mana konten promosi dan tren yang disebarkan di platform tersebut mendorong mereka untuk melakukan pembelian impulsif.

Luthfiyyah, N., & Mukramin, S. (2023): Artikel dalam jurnal ini mengeksplorasi dampak penggunaan TikTok terhadap remaja di SMA Muhammadiyah Kota Makassar. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun TikTok memberikan hiburan dan konten edukatif, sebagian besar remaja cenderung terpengaruh secara negatif, seperti penurunan fokus dalam belajar dan peningkatan ketergantungan pada media sosial untuk hiburan.

Rahmawati, E. (2022): Skripsi ini mengevaluasi dampak penggunaan TikTok terhadap perilaku belajar siswa kelas IX di SMPN 9 Tangerang Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TikTok memiliki dampak negatif seperti menurunnya konsentrasi saat belajar, kebiasaan menunda-nunda tugas, dan gangguan dalam mempersiapkan ujian. Namun, juga ditemukan dampak positif di mana TikTok digunakan sebagai sumber informasi edukatif bagi sebagian siswa.

Website:

https://www.halodoc.com/artikel/cek-fakta-kecanduan-tiktok-bisa-picu-penurunan-kognitif-otak?srsltid=AfmBOoqsC5XeFkLAo2gdCRtC6cPGhwUQImyok4Ea3pej21__XjATbyiF

https://www.michigandaily.com/opinion/failing-focus/

https://www.google.com/amp/s/www.cnbcindonesia.com/tech/20220131062903-37-311636/riset-remaja-kecanduan-tiktok-alami-penurunan-kerja-otak/amp

https://www.kompas.id/check?next=/baca/muda/2024/03/05/hobi-tonton-video-pendek-anak-muda-jadi-susah-fokus

2 komentar

2 komentar

  • Eksistensiku
    Eksistensiku
    16 November 2024 pukul 08.17
    Sangat menarik, menurut saya eksistensi tiktok memang sudah seperti itu sejak awal. dibuat dan disesuaikan bedasarkan algoritma yang dibangun untuk pengguna masing-masing, sehingga pengguna dapat diarahkan dan dikumpulkan data nya.
    • Eksistensiku
      Ardi Holmes
      18 November 2024 pukul 21.44
      Terimakasih sudah meninggalkan jejak.

      Ya, makanya di platform seperti tiktok framing jauh lebih gampang dan kebanyakan komentarnya tidak memiliki muatan argumentasi.
    Reply