Sebelum Membaca, Coba Kenalin Dulu Jenis Bukunya - Ardi Holmes
TjMRlr4CceqlrtkB0Ce0BnkM2b5IZCPJzobEJ1si
Bookmark

Sebelum Membaca, Coba Kenalin Dulu Jenis Bukunya

Menjelajahi berbagai genre di rak buku, karena menemukan cerita yang tepat seenggaknya sudah mencapai setengah dari asyiknya membaca

Kenapa Penting Kenal Jenis Buku Sebelum Membaca?

Pernah nggak, lu lagi semangat mau baca novel baru, tapi di tengah-tengah cerita, lu malah bingung? Nah, ini sering banget kejadian karena banyak yang nggak sadar kalau novel itu punya genre dan bahkan subgenre yang beda-beda. Ibarat masuk ke toko kopi, lu cuma tahu mau minum kopi tapi bingung pilihannya—americano, cappuccino, atau kopi susu gula aren yang lagi hits?

Kenalan sama jenis buku bukan cuma buat gaya-gayaan doang, tapi biar lu nggak buang waktu dan bisa benar-benar menikmati bacaan lu. Dan ini nggak cuma berlaku buat novel, tapi juga buku non-fiksi. So, sebelum lu mulai baca, yuk kenali dulu jenis-jenis bukunya!

Genre dan Subgenre: Satu Topik Dengan Mengambil Satu Latar Belakang Spesifik

Saat orang bilang mereka suka novel, sering kali mereka nggak tahu kalau novel itu punya genre yang sangat beragam. Misalnya, lu suka novel romantis? Oke, tapi romantis yang gimana nih? Ada yang romantis modern ala drama Korea, ada juga yang romantis-sejarah-abad pertengahan—kayak cerita cinta para kesatria di Eropa zaman dulu.

Bayangin, lu penggemar drama Korea tapi tiba-tiba dikasih novel romantis-sejarah. Itu ibarat lu mau main Mobile Legends, tapi malah di-match sama tim yang main Free Fire—sama-sama game, tapi atmosfer dan strateginya beda total.

Subgenre ini penting biar lu nggak kaget di tengah cerita atau biar lu ga bosen juga bacanya karena ga sesuai ekspetasi. Coba deh, kalau lu tertarik dengan sejarah tapi mau yang ada bumbu romansa, pilih yang punya subgenre romantis-sejarah. Kalau lu suka petualangan dan misteri, cari yang subgenre romantis-petualangan.

Waktu terbaik buat menikmati berbagai genre buku? Saat bersantai di ruang tamu, ditemani si kucing dan suasana yang hangat

Kenapa Memahami Genre dan Subgenre Itu Penting?

Mungkin lu bertanya, “Kenapa sih gue harus repot-repot mahamin genre dan subgenre?” Jawabannya simpel: biar lu nggak buang-buang waktu. Banyak banget yang akhirnya kecewa pas baca buku karena ekspektasi mereka nggak sesuai dengan isinya. Bayangin lu beli novel yang katanya thriller, tapi pas baca malah banyak drama percintaan. Itu kayak lu mau main ranked match di Mobile Legends, tapi tiba-tiba tim lu sibuk nge-chat dan nggak fokus main.

Dengan mengenali genre dan subgenre, lu bisa lebih siap secara mental dan nggak kaget sama jalan cerita atau isi bukunya. Ini juga berlaku untuk buku non-fiksi. Jangan sampe lu ambil buku tentang ekonomi politik padahal yang lu cari sebenarnya tips manajemen keuangan pribadi. Dua-duanya emang tentang duit, tapi vibe-nya beda banget.

Fiksi: Dunia yang Beragam

Fiksi itu luas, bro. Genre populer kayak romantis, horor, fiksi ilmiah, sampai fantasi masing-masing punya subgenre yang bisa bikin pengalaman baca lu jadi lebih kaya. Misalnya, di genre fantasi, lu bisa nemuin subgenre seperti low fantasy atau high fantasy.

Lu tahu kan, bedanya Lord of the Rings sama Harry Potter? Dua-duanya fantasi, tapi yang satu lebih berat dengan politik dan dunia yang kompleks (high fantasy), sementara yang lain lebih ringan dan berfokus pada pertumbuhan karakter (low fantasy). Kalau lu nggak tahu bedanya, lu bisa kaget pas tiba-tiba nemu elf yang sibuk ngebahas politik kerajaan.

Pilih Game Sesuai Mood

Biar lebih relatable, bayangin ini: lu lagi pengen main game buat refreshing. Kalau mood lu santai, mungkin lu bakal buka game simulasi kayak Truck Simulator. Tapi kalau lu lagi pengen tantangan, lu bakal pilih PUBG atau Free Fire. Sama kayak buku, lu harus tahu mood lu sebelum mulai baca. Buku yang berat bisa bikin lu mikir keras, sementara yang ringan bisa jadi hiburan pas lu lagi capek. Kenalin dulu genre-nya biar pengalaman lu maksimal.

Buku Non-Fiksi: Lebih dari Sekadar Informasi

Satu hal yang harus lu tahu, buku non-fiksi itu nggak semuanya sama. Ada yang bersifat ilmiah murni, sejarah, self-help, hingga biografi. Setiap kategori ini punya gaya penulisan dan tujuan yang beda-beda.

Contoh, lu mau belajar soal astronomi tapi nggak mau terlalu pusing sama rumus dan istilah teknis, baca buku kayak Cosmos karya Carl Sagan. Ini buku, ngejelasin hal yang kompleks dengan cara yang simpel. Penulisnya jago bikin analogi yang mudah dipahami—persis kayak lu diajarin strategi game sama teman yang udah pro, tapi dia ngejelasin dengan gaya bahasa di tongkrongan sehari-hari atau dipadukan juga dengan gosip.

Non-Fiksi Populer vs. Non-Fiksi Akademis

Kadang, buku non-fiksi populer sering salah dikira sama non-fiksi akademis. Yang populer biasanya ditulis lebih ringan dan bisa diakses siapa aja. Sementara yang akademis, lu butuh kesiapan mental ekstra buat nyimak. Misalnya, buku karya Carl Sagan versus buku tentang fisika kuantum yang penuh rumus dan teori. Kalau lu baru mulai tertarik sama topik tertentu, saran gue, mulai dari yang populer dulu biar nggak kaget dan cepet bosen.

Contoh lain buku non-fiksi populer yang banyak digemari adalah Sapiens: A Brief History of Humankind karya Yuval Noah Harari. Buku ini membahas sejarah panjang umat manusia dari zaman purba hingga era modern dengan bahasa yang santai dan mudah dipahami. Harari pinter banget nyelipin humor dan analogi yang bikin pembaca jadi ngerti isu-isu berat tanpa harus kerut-kerut kening. Lu bakal nemu penjelasan tentang bagaimana manusia bisa jadi spesies dominan di bumi, dan ini dikemas kayak cerita seru yang bikin lu lupa kalau ini sebenarnya buku sejarah.

Ada juga buku Atomic Habits karya James Clear, yang mengupas cara membangun kebiasaan baik dan menghilangkan kebiasaan buruk dengan contoh-contoh konkret. Buku ini cocok buat lu yang pengen mengubah pola hidup tapi bingung mulai dari mana. Clear ngejelasin konsep rumit kayak “law of marginal gains” dengan contoh sehari-hari yang relate, jadi lu bisa langsung paham tanpa harus buka kamus atau riset lebih dalam.

Pengalaman Gue: Salah Genre, Salah Kaprah

Gue pernah ngalamin ini sendiri. Waktu itu gue lagi iseng pengen baca buku non-fiksi soal sejarah. Gue ambil buku Sejarah Yang Disembunyikan karya Jonathan Black. Pas awal baca, gue excited banget, tapi makin lama gue makin bingung. Kenapa? Karena buku ini ternyata banyak ngebahas mitologi dan teologi yang gue nggak familiar sama sekali. Rasanya kayak lu main game baru dengan interface yang beda total dari yang biasa lu mainin—pusing, kan?

Akhirnya, gue sadar kalau sebelum mulai, penting banget buat kenalin dulu isi buku dan pastiin gue paham dasar-dasarnya. Sekarang, kalau gue ambil buku yang rada kompleks, gue pastiin udah baca referensi atau artikel lain biar nggak bosen juga pas baca.

Langkah Praktis Sebelum Mulai Membaca

1. Baca Sinopsis dan Review

Ini langkah penting buat tahu gambaran isi buku. Jangan asal lihat cover dan judul aja. Ini kayak ngecek stats hero di Mobile Legends sebelum main.

2. Cek Genre dan Subgenre

Pastikan lu tahu genre utama dan subgenre dari buku tersebut.

3. Mulai dari yang Familiar

Kalau baru mulai baca, jangan langsung ambil yang terlalu kompleks. Pilih yang sesuai dengan minat dan pemahaman lu.

4. Riset Topik Pendukung

Buat buku non-fiksi yang berat, lu bisa baca artikel pendukung atau nonton video YouTube biar paham dasar-dasarnya.

Cari sudut nyaman dan kenali genre buku favorit lu sebelum mulai membaca. Siapkan kopi, temuin cerita yang cocok, dan nikmati momennya

Ayo Bagikan Cerita dan Rekomendasi Buku Lu!

Gue pengen tahu, gimana pengalaman lu waktu pertama kali nemuin genre atau subgenre yang ternyata cocok banget? Atau mungkin ada yang pernah nyasar di buku yang nggak sesuai ekspektasi? Yuk, bagiin cerita lu di kolom komentar, share artikel di jika bermanfaat dan jangan lupa join komunitas gue buat diskusi lebih lanjut. Gue janji, kita bakal jadi pembaca dan penulis yang makin jago bareng-bareng!

Tunggu apa lagi? Mulai kebiasaan baca lu dengan lebih cerdas dan terarah!

Baca buku tanpa tau genrenya apa, itu ibarat kirim chat panjang ke gebetan, eh, malah dibales ‘Oke’. Ending-nya? Bikin gregetan sendiri.
Ardi Holmes
Posting Komentar

Posting Komentar