Menulis: Cara Gue Mengekspresikan Pikiran Tanpa Batas - Ardi Holmes
TjMRlr4CceqlrtkB0Ce0BnkM2b5IZCPJzobEJ1si
Bookmark

Menulis: Cara Gue Mengekspresikan Pikiran Tanpa Batas

Menulis adalah sesuatu yang bikin gua ngerasa hidup dan bisa berterikan sekencang-kencangnya tanpa mengganggu orang lain.

Kenapa Menulis Adalah Pilihan Utama Gue?

Gue bukan tipe orang yang suka ngobrol panjang lebar, apalagi kalau topiknya beda arah. Lu tau kan rasanya ngobrol sama orang yang ngotot dengan pendapatnya sendiri? Itu kaya nonton film yang ending-nya udah lu tebak dari awal—membosankan dan bikin gedeg juga. Kadang, obrolan jadi semacam debat tanpa ujung yang bikin capek sendiri. Nah, di sinilah menulis hadir jadi pelarian yang gak cuma efektif tapi juga penuh makna.

Menulis itu adalah medium di mana gue bisa mengutarakan semua pikiran tanpa takut dipotong atau dihakimi. Ketika gue nulis, gak ada yang tiba-tiba menyela dengan, “Tapi menurut gue...” atau “Ah, lu salah paham, harusnya begini.” Lu punya kontrol penuh atas narasi lu sendiri. Di tulisan, semua argumen, ide, dan opini lu bebas meluncur tanpa hambatan. Menulis itu tentang memegang kendali, di mana gak ada interupsi, dan semua ide bisa mengalir dengan lancar.

Menulis: Medan Bebas Tanpa Hakim

Di dunia menulis, gue bebas menyuarakan pikiran paling dalam tanpa harus mengantisipasi respon yang langsung menghantam balik. Lu pernah gak sih, kepikiran ide brilian tapi tiba-tiba mentok gara-gara ada yang langsung komentar? Well, di tulisan, semua ide lu—bahkan yang paling nyeleneh sekalipun—dapat tempat. Dan yang paling penting, menulis dengan jujur dan lebih terbuka. Lu gak perlu mikirin ekspresi muka lawan bicara atau nada suara yang kadang bikin salah paham.

Gue ingat satu momen ketika gue lagi berdebat sama temen soal topik yang sensitif. Ujung-ujungnya, argumen gue malah jadi bias gara-gara nada tinggi dan ego yang terlibat. Sejak saat itu, gue sadar, kadang-kadang diam lebih baik daripada ngomong terus-terusan. Tapi diam tanpa output itu juga ngebatin, kan? Nah, itulah alasan gue balik lagi ke menulis. Ini bukan sekadar ekspresi, tapi medan bebas tanpa hakim.

Analoginya? Menulis Itu Kaya Bikin Mi Instan Favorit

Kalau gue boleh ngasih analogi sederhana, menulis itu kaya bikin mi instan pas hujan deras. Bayangin, lu udah duduk nyaman, air mendidih, aroma mi yang menguar, dan gak ada yang bilang “gue lebih suka mi...” atau “mendingan tambah ini-itu biar lebih enak.” Semua sesuai keinginan lu—dari jumlah bumbu sampai topping tambahan. Gak ada yang interupsi, semua berjalan lancar sesuai dengan apa yang lu mau. Sama halnya dengan menulis, semua kendali ada di tangan lu. Mau serius, santai, bahkan absurd, semuanya lu atur sendiri. Walaupun, menutut gua lebih baik kalo tulisan kita banyak yang ngasih feedback.

Saat banyak orang berlomba-lomba bikin konten video, gua lebih suka nuangin ide gue lewat tulisan

Menulis Bukan Sekadar Ekspresi, Tapi Pelarian yang Bijak

Gue sadar, di luar sana banyak yang mikir, “Menulis? Ah, capek ah, mending ngobrol aja.” Tapi bagi gue, menulis adalah pelarian yang bijak. Bukan lari dari masalah, tapi lari ke tempat di mana gue bisa berpikir lebih jernih. Ketika dunia luar berisik dan lu udah mentok males ngejelasin argumen ke orang yang gak sejalan, tulisan adalah tempat di mana semua argumen gue bisa dilacak secara digital dan bisa juga dinikmati sama semua orang. Di sini, gue bisa menyusun kata-kata tanpa harus menyiapkan jawaban atas tanggapan yang tak terduga.

Menulis memberi ruang refleksi. Gue bisa baca ulang apa yang udah gue tulis dan berpikir, “Oh, ini ternyata yang gue rasain.” Gue pernah ngalamin, ketika suasana hati lagi berantakan, gue nulis apa aja yang kepikiran. Dari mulai keresahan soal kerjaan sampai ide-ide liar yang muncul tiba-tiba. Dan, percaya gak percaya, rasanya lebih lega dibanding ngobrol sama orang yang ujung-ujungnya malah ngasih kritik atau nge-judge, padahal gak diminta. Momen-momen itu mengingatkan gue kalau menulis bisa jadi tempat healing yang gak tergantikan.

Menulis Itu Investasi Pikiran

Ada momen di mana gue sadar kalau menulis itu lebih dari sekadar meluapkan emosi; ini adalah investasi jangka panjang untuk pikiran gue. Setiap kali gue menulis, gue belajar menyusun argumen, melatih logika, dan menyeimbangkan antara emosi dan fakta. Itu adalah skill yang bisa lu bawa seumur hidup. Bayangin, saat banyak orang kebingungan mengatur pikirannya, lu punya catatan lengkap dari pemikiran lu yang paling jujur. Setiap kalimat yang lu tulis itu semacam jejak pikiran yang bisa lu liat kembali suatu hari nanti.

Lu mungkin nanya, “Tapi beneran bisa ya nulis bikin kita lebih bijak?” Jawabannya: iya banget. Di setiap kalimat yang lu tulis, lu ngasih ruang buat diri sendiri berpikir lebih dalam. Menulis itu kaya ngejaga taman pikiran tetap rapi dan indah. Lu potong rumput liar berupa kekhawatiran, lu rawat bunga ide, dan lu siram dengan pengalaman sehari-hari. Hasilnya, pikiran lu jadi lebih tajam, dan hati lebih tenang.

Gue punya kebiasaan nge-review tulisan lama gue. Kadang, gue ketawa ngeliat gimana cara berpikir gue berubah dalam beberapa bulan atau tahun terakhir. Tulisan adalah cermin perjalanan hidup. Dari situ, gue belajar banyak hal. Mulai dari gimana gue dulu ngeliat masalah kecil sebagai hal besar, sampai momen-momen di mana gue sadar, “Oh, ini gak sepenting yang gue pikir.

Menulis: Dialog Tanpa Suara

Salah satu hal paling menarik dari menulis adalah dialog tanpa suara. Gue sering banget baca ulang tulisan gue sendiri, dan kadang rasanya kayak ngobrol sama diri sendiri. Dan tahu gak, momen ini lebih meaningful dibanding diskusi biasa yang sering kali cuma jadi ajang unjuk suara. Menulis ngasih lu ruang buat memahami diri lu lebih dalam. Lu bisa bikin refleksi yang lebih mendalam tanpa harus khawatir soal pandangan orang lain. Lu bisa nulis apapun, bahkan yang paling absurd, tanpa takut dinilai aneh.

Dialog ini seperti obrolan internal, yang bikin lu makin mengenal siapa lu sebenarnya. Bahkan, beberapa ide paling brilian muncul di saat lu lagi ngobrol sama diri sendiri di tulisan. Menulis itu semacam terapi murah meriah yang bisa lu lakuin kapan aja, di mana aja.

Malam, adalah waktu yang tepat buat nulis, tanpa gangguan, hening, dan yang pasti lebih adem suasananya

Mengapa Lu Harus Coba Menulis?

Jadi, kenapa lu harus coba menulis? Pertama, menulis bikin lu lebih paham dengan pikiran sendiri. Sometimes, kita gak sadar seberapa berantakannya pikiran sampai kita ngeliatnya dalam bentuk tulisan. Kedua, menulis bisa jadi pelarian yang sehat. Di saat dunia terasa terlalu bising dan lu gak bisa nemuin orang yang sefrekuensi buat diajak curhat, tulisan selalu ada buat lu. Ketiga, menulis melatih logika dan pola pikir lu. Semakin sering lu nulis, semakin lu bisa menyusun argumen dengan jelas dan runtut.

Gue yakin, banyak dari lu yang punya pemikiran brilian tapi gak tahu gimana cara menyampaikannya. Menulis adalah jawaban lu. Lu gak harus jadi penulis profesional atau punya blog terkenal buat mulai. Cukup selembar kertas atau aplikasi catatan di HP lu, dan lu udah bisa mulai. Lu gak pernah tahu, mungkin suatu hari tulisan sederhana lu bisa jadi inspirasi buat orang lain.

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Pramoedya Ananta Toer

Coba Share Hasil Tulisan Lu!

Gimana menurut lu? Apa lu pernah merasa lebih nyaman menulis dibanding ngobrol? Gue ajak lu untuk cerita pengalaman lu di kolom komentar. Jangan lupa, share tulisan ini ke teman-teman lu yang juga suka menulis atau yang lagi butuh alasan buat mulai. Mari kita berkembang bareng, berbagi inspirasi dan semangat menulis!

Posting Komentar

Posting Komentar